untuk lebih mudah menghafal surat-surat pendek dalam al-qur'an terutama juz 'amma silahkan unduh disini
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEWAJIBAN UNTUK PATUH DAN TAAT
Oleh: Mohammad Iqbal Rasyid
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah,
dan janganlah kamu sekalian berpecah belah,
dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua
(yaitu) ketika kamu bermusuh-musuhan,
maka Dia (Allah) melunakkan antara hati-hati kamu
maka kamu menjadi bersaudara,
sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”
(Q.S. Ali Imron ayat 103)
(Q.S. Ali Imron ayat 103)
Diantara
keistimewaan ajaran Islam adalah perintah untuk menjaga persatuan dan
kesatuan. Persatuan dan kesatuan adalah "kiat" yang dipakai oleh Al
Islam untuk membawa umat manusia kepada status kemerdekaan yang hakiki
(yaitu bertauhid hanya kepada Allah semata). Bukankah dahulu para
pejuang kemerdekaan senantiasa menganjurkan persatuan dan kesatuan demi
melawan tirani penjajahan? Bukankah 'devide et impera' (memecah belah,
lalu menguasai) adalah semboyan para penjajah yang hendak merampas
kemerdekaan kita?
Berbagai
cara manusia dilakukan untuk menjalin tumbuhnya persatuan dan kesatuan.
Pada mulanya mereka mencari apa yang sama diantara mereka. Mereka
mencari kesamaan/persamaan, dalam rangka untuk menjalin
'persatuan' itu. Maka mereka berkumpul dengan sesama sukunya, sesama
warna kulitnya, sesama keturunan dan silsilahnya. Namun kemudian manusia
menemukan kesimpulan bahwa persatuan dan kesatuan bukanlah dijalin
karena memiliki kesamaan-kesamaan itu semata. Mereka berpikir bahwa
'persatuan dan kesatuan' itu ternyata akan tumbuh sejati bukan saja di
atas dasar 'kesamaan', namun juga di atas dasar 'perbedaan', baik
perbedaan suku, bangsa, warna kulit, maupun keturunan. Manusia akhirnya
memahami bahwa hakikat dari sebuah persatuan dan kesatuan, bukanlah lagi
terletak karena kesamaan material, namun lebih kepada karena kesamaan
untuk patuh dan taat pada "tali" yang sama, pada aturan yang sama, tidak
peduli apakah mereka berasal dari suku yang sama, warna kulit yang
sama, keturunan yang sama.
Lihatlah
di sekeliling kita, persatuan dan kesatuan sejati dibentuk karena
kepatuhan dan ketaatan pada peraturan yang sama, pada ikatan yang sama,
pada undang-undang yang sama, pada perintah yang sama.
Firman
Allah SWT pada Surat Ali Imron ayat 103, dapat menggambarkan dengan
cukup jelas, bahwa persatuan itu terlahir karena adanya keinginan untuk
berpegang teguh pada tali yang sama, yaitu Tali Allah. 'Berpegang teguh'
ini maksudnya adalah patuh dan taat kepada apa yang digariskan oleh
Allah, patuh dan taat kepada aturan dan undang-undang Allah.
Selanjutnya, marilah kita perhatikan ayat berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah,
dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya .
(QS. An-Nisa: 59)
Ayat
di atas memperkuat keyakinan kita bahwa pesatuan dan kesatuan umat
Islam dimanapun berada, terjalin karena mereka patuh dan taat mengikuti
Allah dan RasulNya. Ketika Rasulullah sudah wafat, maka mereka mengikuti
pemimpin-pemimpin mereka sepanjang pemimpin-pemimpin itu juga taat
mengikuti Allah dan RasulNya. Jika kemudian mereka berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka mereka merujuk kembali kepada sumber hukum, kepada
tali/akidah Allah itu, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.
Demikianlah,
maka dapat kita pahami bahwa ketaatan kepada peraturan dan kepada
pemimpin, sejatinya karena itulah yang menjadi modal dasar utama dalam
persatuan dan kesatuan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa "Barang
siapa yang ingin mempersatukan, maka ia akan taat. Namun barang siapa
yang ingin memecah belah, maka ia berkhianat."
DEFINISI TAAT
Secara
bahasa artinya mengerjakan sesuatu yang diperintahkan. Sedangkan secara
syari’ah ialah beramal melaksanakan perintah disertai niat dan
keyakinan. Berkata Al-Qurtubi: ”Hakekat taat adalah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan. Dan lawannya ma’shiyah artinya menyimpang dari perintah". Sedangkan Hasan Al-Banna berkata: ”Yang
saya kehendaki dari ketaatan ialah melaksanakan perintah dan
merealisasikannya secara sepontan baik dalam kondisi susah atau mudah,
dalam kondisi bergairah atau tidak”.
Demikianlah definisi dari taat. Selanjutnya, marilah kita menghayati sabda Rasulullah di bawah ini:
"Dari
Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda:” Dengar dan taatlah kalian
walaupun dipimpin oleh seorang budak Habsyi dan kepalanya seperti buah
anggur kering” (HR Bukhari)"
Dengan
begitu maka patuh dan taat kepada pimpinan adalah merupakan kewajiban
sekalipun pimpinan kita itu tidak berasal dari suku bangsa yang sama
dengan suku kita, tidak memiliki status sosial ataupun ekonomi yang sama
dengan status sosial dan ekonomi kita, sekalipun ia memiliki warna
kulit yang berbeda. Sepanjang aturan dan perintahnya itu bukan
menyimpang dari aturan dan perintah Allah dan RasulNya, maka kita wajb
mengikuti kebenaran dari siapapun asalnya.
BATASAN PATUH DAN TAAT
Ketika
Islam mewajibkan umat Islam untuk mentaati para pemimpin, Islam juga
memberi batasan tentang ketaatan tersebut dan tidak membiarkanya berlaku
mutlak tanpa ada batasan. Oleh karenanya ketaatan terhadap pemimpin
dibatasai oleh ruang lingkup tertentu dan syarat-syarat tertentu yang
harus ditunaikan. Dan diantaran batasan tersebut adalah:
Artinya:
Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW bersabda:” Atas setiap muslim harus
mendengar dan taat terhadap sesuatu yang ia cintai atau benci, kecuali
jika diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah bermaksiat maka tidak
ada mendengar dan taat”(Muttafaqun alaihi)
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik (Allah)”(HR Ahmad dan Al-Hakim)
“Sesungguhnya ketaatan hanya pada sesuatu yang baik” (HR Bukhari).
Lalu bagaimana landasan dari taat kepada pemimpin? Rasulullah saw bersabda:
Dari
Abu Hunaidah Wa’il bin Hajar ra berkata: Salamah bin Yazid Aj-Ja’fi
bertanya pada Rasulullah saw dan berkata:” Wahai nabi Allah bagaimana
pendapatmu jika pemimpin kami meminta kepada kami hak mereka dan tidak
melaksanakan haknya (kewajibannya)?”. Rasulullah saw berpaling darinya,
tetapi ia bertanya lagi, maka Rasulullah saw menjawab:” dengar dan
taatilah (pemimpin tersebut) karena sesungguhnya mereka akan menanggung
beban tanggung-jawab yang harus dilaksanakannya dan kamu juga akan
bertanggung-jawab terhadap yang kamu perbuat“ (HR Muslim)
Yang
sering menjadi malapetaka bagi umat adalah apabila pemimpin memaksakan
pengikutnya untuk patuh dan taat kepada kemauannya, sementara mereka
yang dipimpin pun mengikuti kemauan para pemimpin dengan seksama, tanpa
mengembalikannya kepada apa yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.
Islam sangat memerangi taklid buta kepada pemimpin. Sebagai muslim, kita
meyakini bahwa kelak mata, telinga dan hati akan dimintai
pertanggungjawaban dihadapan mahkamah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang
meleset dari perhitungan-Nya. Dia yang Maha Besar berfirman, "Setiap
orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya." (Qs. 74: 38).
Karena diri kita sendirilah yang bertanggungjawab, maka sebuah
keniscayaan untuk tidak sekedar ikut-ikutan tentang sesuatu. Sikap
keberagamaan yang sejati adalah berani mengkritisi dan bersikap cerdas
terhadap para pemimpin. Apakah benar apa yang disampaikan pemimpin/ulama
tersebut adalah bagian dari agama atau bukan? Apakah Allah dan RasulNya
menuntunkan hal demikian, atau tidak. Marilah kita bercermin dari ayat
berikut ini. "Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka
menyesatkan kami dari jalan yang benar." (Qs. Al-Ahzab: 67). Firman
tersebut memberi bukti bahwa memang adadi dunia ini jenis pemimpin,
pembesar, orang yang kita tuakan, orang yang tingkat pendidikannya lebih
tinggi, bahkan orang yang kita sebut dengan guru, orang yang kita kira
tinggi ilmunya, kyai, atau apapun, yang memang menyesatkan pengikutnya
dari jalan yang benar.
Selain
itu, malapetaka besar yang sering terjadi pula yaitu dimana para
pemimpin tidak memenuhi apa yang diamanahkan kepadanya. Perhatikanlah
ayat berikut ini:
"Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya .(QS. An-Nisa: 58-59)
Demikianlah. Semoga paparan ini dapat memberi hikmah kepada kita semua. Al Islam telah memberi tuntunan, bahwa siapapun itu; pemimpin maupun yang dipimpin,
sama-sama wajib untuk patuh dan taat kepada apa-apa yang telah
dituntunkan oleh Allah dan RasulNya. Kesemuanya memiliki kewajiban yang
sama. Perbedaannya terletak pada besar/kecilnya tanggung jawab dan
amanah. Pemimpin tentu memiliki tanggung jawab dan amanah yang lebih
besar. Asas kepatuhan dan ketaatan ini juga memberi hikmah berupa
perdamaian, persatuan dan kesatuan umat. Maka berpegang teguh pada
persatuan, tidak memecah belah, tidak mengadu domba, juga merupakan
kewajiban para pemimpin dan yang dipimpin. Siapapun dari kita, baik pemimpin ataupun yang dipimpin, akan menanggung beban tanggung jawab masing-masing dihadapan Allah SWT. Wallahua'lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar